Mauli.id – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berencana mengajukan pinjaman sebesar Rp5 triliun kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), salah satu BUMN, untuk pembiayaan beberapa proyek infrastruktur, termasuk pembangunan Jalan Lingkar Utara, sebagaimana diberitakan oleh berbagai media. Pinjaman ini diperkirakan akan dikenai bunga sebesar 5%.
Namun, langkah ini memerlukan kehati-hatian yang tinggi. Ambisi untuk mewujudkan pembangunan jangan sampai mengorbankan masa depan masyarakat Surabaya. Kebijakan terkait pembiayaan utang pemerintah daerah diatur dengan ketat oleh berbagai kementerian dan lembaga.
Menurut hemat saya, pinjaman sebesar Rp5 triliun dengan bunga 5% adalah keputusan yang berisiko tinggi dan berpotensi membebani anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Surabaya. Beban bunga dan cicilan pokok utang akan membatasi fleksibilitas fiskal, sehingga mengurangi kemampuan pemerintah untuk merespons kebutuhan masyarakat secara optimal.
Utang Bukan Solusi untuk Ambisi
Pembangunan yang ambisius tidak selalu membawa hasil yang baik, apalagi jika utang hanya digunakan untuk mengejar warisan atau legacy. Kita dapat belajar dari proyek besar lainnya, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang hingga saat ini menghadapi risiko kegagalan. Situasi serupa harus diantisipasi oleh para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah, legislatif, hingga masyarakat yang dapat diwakili oleh organisasi masyarakat sipil (NGO).
Solusi: Efisiensi dan Tata Kelola yang Efektif
Ada banyak cara untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan tanpa harus bergantung pada utang besar. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan mengoptimalkan tata kelola anggaran secara efektif dan efisien. APBD Kota Surabaya selama ini menunjukkan capaian realissasi yang belum maksimal, terutama dalam realisasi pendapatan dan belanja daerah. Target yang tidak tercapai mengindikasikan lemahnya perencanaan dan pelaksanaan program.
Belanja APBD Surabaya juga masih di dominaso oleh belanja Operasional, hal tersebut sangat boros dan kurang akuntabel. Sebagai contoh, anggaran perjalanan dinas luar negeri pada APBD 2025 mencapai Rp20 miliar, sebuah angka yang fantastis di tengah kebutuhan pembangunan yang lebih mendesak.
Selain itu, APBD Kota Surabaya belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebijakan terbaru, seperti yang diatur dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Misalnya, belanja pegawai yang seharusnya dibatasi maksimal 30% dari total belanja daerah masih menunjukkan tren peningkatan pada APBD 2025. Ketidaksesuaian ini menunjukkan kurangnya kepatuhan Pemkot Surabaya terhadap regulasi yang ada.
Kami Butuh Pembangunan yang Berkualitas bukan yang Ambisius
Surabaya membutuhkan pembangunan yang berkualitas, bukan yang hanya mengejar ambisi. Dengan efisiensi belanja, kepatuhan terhadap regulasi, dan optimalisasi pengelolaan anggaran, pembangunan yang bermanfaat dan berkelanjutan bagi masyarakat Surabaya dapat terwujud tanpa membebani masa depan mereka dengan utang.