Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara merupakan cikal bakal tata kelola APBD (Anggaran Pendaptan dan Belanja Daerah), setidaknya sudah 20 tahun kebijakan tersebut menjadi landasan dan pijakan dalam tata kelola anggaran pemerintah termasuk APBD di dalamnya.
Sejak kebijakan di atas disahkan sampai hari ini, setidaknya Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah mengumpulkan Rp.380 triliun sebagai pendapatan dearah dan Rp.376 triliun alokasi yang dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan berjalannya program dan kegiatan, berarti terdapat suplus Rp.3,8 triliun.
Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, sering mengalami perubahan dan perbaikan guna penyesuaian dengan kebijakan yang lain. namun pada prinsipnya, perubahan dilakukan dengan semangat dan kerangka yang sama, yaitu dengan adanya UU tersebut mampu meningkatkan tata kelola APBD sehingga mampu memberikan solusi atas segala bentuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Jatim Tolok Ukur Capaian Nasional
Tidak jarang kita mendapati istilah provinsi jawa timur sebagai indikator perekonomian nasional bahkan tolok ukur capaian kinerja pemerintah pusat, hal itu bukan tanpa dasar yang kuat. Dengan cakupan luas daerah, potensi sumber daya alam yang melimpah, dan populasi penduduk yang mencapai lebih dari 40 juta jiwa, menjadikan jawa timur pantas dijadikan tolok ukur capaian kinerja Pemerintah.
Dengan demikian, Lalu muncul pertanyaan apakah berarti Jawa Timur kondisinya selalu baik-baik saja? Apakah masyarakatnya sudah sejahtera? Bagaimana dengan tingkat angka kemiskinan yang sudah 20 tahun lebih nomor satu nasional? Apakah kinerjanya berbanding lurus dengan banyaknya piala dan penghargaan yang diterima? Saya kira disinilah pentignya bercerita tentang perjalanan pemerintah daerah provinsi jawa timur melalui tata kelola anggarannya dalam kurun waktu dua puluh tahun.
Seperti kondisi daerah pada umumnya, saya akan bilang bahwa kinerja APBD jawa timur tidak selalu baik-baik saja, tidak seperti yang kita sering perhatikan melalui media sosial yang tampak selalu pamer piala dan penghargaan. Karena kita sama-sama faham bahwa itu semua hanya klaim sepihak.
Saya akan coba beri contoh yang mudah kita fahami. Pertama, APBD 2023 Provinsi Jawa Timur merupakan angka terendah dalam lima tahun terkahir, padahal kalau tidak salah, baru beberapa bulan lalu pemerintah provinsi jawa timur mengklaim realisasi pendapatan daerah 2022 tertinggi nasional, jelas ini adalah realitas yang kontradiktif, lalu apa yang sebenarnya terjadi, apakah berarti APBD 2023 jawa timur tengah melakukan efesiensi? Atau karena dampak adanya kebijakan yang baru tentang hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah dearah? Atau masih dengan alasan karena Covid-19 belum selesai. saya fikir semua pertanyaan itu tidak perlu jawaban satu-persatu, karena yang kami lihat, tata kelola APBD Jawa timur selama ini tidak benar-benar disusun dengan kerangka yang bijak dan baik.
Kedua, dalam empat tahun terkahir rata-rata pertumbuhan APBD mengalami pertumbuhan yang memperihatinkan, di mana tidak pernah terjadi pada periode sebelumnya bahwa APBD Jawa Timur mengalami pertumbuhan negatif. Pertanyaannya, apakah pemerintah provinsi jawa timur tidak punya kerangka kinerja anggaran yang baik dan akuntabel? Apakah pemerintah tidak punya inovasi terkait tata Kelola anggaran, atau jangan-jangan terdapat kebocoran pendapatan daerah yang selama ini menguntungkan kelompok tertentu?
Saya fikir banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam perjalanan 20 tahun APBD Jawa Timur, itu juga sebabnya tulisan ini saya rangkai dengan judul “Lanskap 20 Tahun APBD Jawa Timur”, yang rencananya akan menjadi tulisan serial.
Covid-19, Hentikan Tren Positif APBD Jawa Timur
Akumulasi selama 20 tahun APBD Jawa Timur terdiri dari pendapatan daerah yang mencapai Rp. 380 trliun dan belanja daerah Rp. 376 triliun. Baik pendapatan daerah dan belanja daerah dari tahun 2003 sampai 2023 menunjukkan tren kenaikan dengan sedikit fluktuasi dalam periode tertentu.
Pendapatan daerah punya tren positif mulai tahun 2003 sampai pada tahun 2019, hal tersebut dapat kita perhatikan dari Rp 3,97 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 33,45 triliun pada tahun 2019, artinya pada kurun waktu tersebut pendapatan daerah provinsi jawa timur menunjukkan tren positif. Lalu tren tersebut terhenti karena, pada tahun 2020 pendapatan daerah hanya mampu mengumpulkan Rp. 31,63 triliun itu artinya minus 5% dibanding dengan perolehan pendapatan daerah tahun sebelumnya.
Pertumbuhan positif kembali ditunjukkan pada APBD tahun 2021, dengan capaian realisasi pendapatan daerah Rp. 34,27 triliun, setara 8,4% dari total realisasi pendapatan tahun sebelumnya namun, kembali apes pada tahun 2022 dan 2023 dimana dua tahun berturut-turut pendapatan daerah kembali terjadi penurunan menjadi Rp. 31,9 triliun pada APBD tahun 2022 dan Rp 29,84 triliun pada APBD 2023.
Secara keseluruhan pendapatan daerah telah mengalami pertumbuhan sebesar 651% dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahun 31%. demikian ringkasan kinerja pendapatan daerah provinsi Jawa Timur selama kurun waktu 20 tahun terakhir.
Pola yang sama juga saya lakukan pemantauan pada sektor belanja daerah. Dimana perjalanan belanja daerah mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapatan daerah, sejak APBD tahun 2003 belanja daerah juga mengalami peningkatan secara konsisten namun juga mengalami pertumbuhan negatif para periode tertentu. Belanja daerah Rp 3,47 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 29,84 triliun pada tahun 2023. Seperti pada sektor pendapatan, tren pertumbuhan belanja daerah berhenti pada tahun 2020. Dimana pada tahun 2019 belanja daerah Rp. 33,9 triliun kemudian menjadi Rp. 32,2 triliun pada tahun 2020, artinya mengalami pertumbuhan negatif sebesar 5%, tren in berlanjut sampai pada APBD 2023. Secara keseluruhan dalam kurun waktu 20 tahun belanja daerah provinsi jawa timur telah mengalami pertumbuhan sebesar 796% dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahun 38%.
Dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa tren pertumbuhan baik pendapatan daerah dan belanja daerah mengalami hal yang serupa, persentasenya lebih tinggi belanja daerah meski secara nominal totalnya lebih besar pendaptan daerah. Di sisi lain kedua unsur tren pertumbuhan posisitfnya berhenti pada APBD tahun 2020, dimana kalau kita fahami tahun 2020 dapat digambarkan dengan kondisi sosial ekonomi yang terpengaruh oleh pandemi Covid-19 yang tidak hanya terjadi pada Jawa Timur.
Melalui Lanskap 20 APBD Jawa Timur akan banyak cerita yang bisa kita dapatkan, bisa dengan pendekatan politik yaitu dengan membandingkan dari masing-masing priode kepemimpinan kepala daerah, pendekatan normatif, seperti lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, atau bisa juga dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sampai jumpa di catatan berikutnya.