Utang Rp452 M Pemkot Surabaya Jadi Bancakan, Bukan Infrastruktur

Mauli.id – Utang Pemerintah Kota Surabaya yang direncanakan dalam APBD Perubahan 2025 sebesar Rp452 miliar ternyata jauh dari klaim awal, bukan untuk menutup defisit fiskal, bukan pula untuk mendanai proyek prioritas yang bisa menggerakkan ekonomi warga melalui pembangunan infrastruktur. Bahkan juga bukan untuk menangani banjir.

Sejak awal, pemerintah kota kerap berdalih bahwa pinjaman diperlukan agar pembangunan bisa terus berjalan. Padahal tanpa berutang sekalipun, Surabaya memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, alasan berutang lebih tampak sebagai upaya mencari pembenaran, bukan benar-benar untuk kebutuhan menangani masalah masyarakat kota Surabaya.

Dalam Raperda APBD Perubahan 2025, dicantumkan rencana pinjaman daerah sebesar Rp452 miliar yang kabarnya berasal dari Bank Jatim, dengan total beban bunga diperkirakan mencapai 13,7%. Namun, alokasi penggunaannya justru menghianati rencana awal. Alih-alih memperkuat belanja modal untuk infrastruktur, dana utang tersebut malah diarahkan pada belanja operasional pemerintah, khususnya belanja barang dan jasa yang tidak lain bagian dari cara mereka bancakan APBD.

Faktanya justru berbanding terbalik dengan janji awal. Pada APBD Murni 2025, belanja modal Surabaya telah dianggarkan sebesar Rp2,89 triliun. Namun dalam Raperda APBD Perubahan, justru dipangkas menjadi Rp2,56 triliun. Ada penurunan drastis Rp328 miliar atau sekitar 11,4%. Sebaliknya, belanja operasional naik signifikan: dari Rp9,42 triliun menjadi Rp9,75 triliun, atau meningkat Rp326 miliar.

Baca Juga:  Problematik: Anggaran Pendidikan Surabaya 17,6%

Sebagaimana kita pahami, belanja modal merupakan belanja yang merepresentasikan belanja infrastruktur dengan item belanja tanah, mesin, Gedung, Jalan, Jaringan, dan Irigasi.

Sedangkan belanja operasi merepresentasikan belanja rutin pemerintah yang terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, dll.

Jika ditelisik lebih rinci, lonjakan terbesar terjadi pada pos belanja barang dan jasa. Dari Rp5,21 triliun naik menjadi Rp5,64 triliun, atau bertambah Rp423 miliar, artinya mengalami peningkatan sekitar 8,1%. Dengan kata lain, penurunan pada belanja modal senilai Rp326 miliar berpindah ke belanja operasional, sementara utang baru Rp452 miliar justru memperlebar ruang konsumsi dan belanja rutin birokrasi.

Baca Juga:  PERDA APBD PERUBAHAN TAHUN 2022 JAWA TIMUR

Kenyataan ini memperlihatkan satu hal: utang Pemkot Surabaya bukan untuk membangun jalan, irigasi, sekolah, atau fasilitas publik yang dinikmati masyarakat, melainkan untuk mempertebal belanja rutin pemerintahan. Pinjaman yang dibungkus dengan maksud “pembangunan” pada akhirnya hanya menjadi uang bancakan birokrasi.

Kiranya tidak berlebihan saya berharap KPK dan Kejaksaan tidak tinggal diam melihat pola pengelolaan APBD Kota Surabaya yang kian tidak rasional dan tidak demokratis jauh dari rasa keadilan. Terlalu banyak potensi penyalahgunaan anggaran, mulai dari pengalihan utang untuk belanja operasional hingga pemangkasan belanja modal yang mestinya jadi tulang punggung pembangunan.

Baca Juga:  APBD 2020 Sumenep; Modus Pembajakan Anggaran oleh Elit Politik

Aparat penegak hukum perlu serius menelusuri motif di balik setiap perubahan anggaran ini, agar APBD benar-benar kembali ke tujuan utamanya menyejahterakan rakyat, bukan untuk ajang bancakan birokrasi. Terima kasih

Terkait

Sebelum
tinggalkan halaman

Mauli.id diperkuat oleh jaringan dan tim profesional, pengembang, analis, dan tim editor yang butuh dukungan untuk bisa memproduksi konten secara rutin.

Terkini

Populer