
Mauli.id – Kenapa masyarakat marah dan melawan atas kebijakan kenaikan pajak PBB P2? Tentu jawabannya, itu semua karena pemerintah daerah gagal mengelola kebijakan yang tertuang dalam UU HKPD. Mereka tidak adil mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Sebelum lanjut ke persoalan kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang kini jadi sorotan publik, saya ingin menelisik akar masalahnya terlebih dahulu. Sependek pengetahuan saya, Semua ini bermula dari lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Bagi saya, pertauran tersebut tidak hanya membuka ruang reformulasi pendapatan asli daerah melalui pajak dan retribusi daerah, tetapi juga mengubah wajah pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh baik di sektor belanja dan juga pembiayaan.
Sejak diberlakukan kebijakan tersebut, serentak pemerintah daerah pada tahun 2023 rata-rata kemudian merekayasa peraturan perpajakan dengan menaikkan tarif pajak dan retribusi daerah. Kenapa ini yang dipilih? Tentu karena hanya dengan cara ini mereka mampu mengatasi krisis fiskal daerah dengan cara instan.
UU HKPD sejatinya tidak semata-mata berbicara soal pemenuhan kapasitas fiskal melalui pajak. Ada mandat yang tak kalah penting yaitu mandatory budgeting. Pemerintah daerah diwajibkan mengalokasikan beberapa jenis belanja, seperti belanja pegawai maksimal 30 persen, dan belanja infrastruktur minimal 40 persen dari APBD. Artinya, keseimbangan fiskal diharapkan tidak hanya dikejar dari sisi pendapatan, tapi juga dari kualitas belanja.
Semangat lahirnya UU HKPD untuk sektor Pendapatan adalah Meningkatkan Local Taxing Power Dengan Tetap Menjaga Kemudahan Berusaha di Daerah. Restrukturisasi Jenis Pajak Daerah, khususnya yang berbasis konsumsi (Hotel, Restoran, Hiburan, Parkir, dan PPJ) menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Sedangkan untuk belajna daerah, semangatnya adalah meningkatkan kualitas pengalokasian belanja daerah agar lebih produktif dan fokus pada layanan dasar kepada masyarakat dan mandatory Budgeting, sehingga terjadi akselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah.
Namun, konteks hari ini memperlihatkan hal yang berbeda. Banyak pemerintah daerah lebih berfokus pada cara instan yaitu menaikkan tarif pajak, terutama PBB-P2 ketimbang berbenah di sisi belanja. PBB-P2 dipilih karena relatif mudah, tidak membutuhkan kajian panjang, tidak memerlukan inovasi besar, dan langsung menyentuh basis wajib pajak yang luas. Sementara itu, kewajiban mengelola belanja secara disiplin justru terabaikan.
Dari hasil amatan, saya menemukan lima daerah di Jawa Timur yang pada tahun 2025 berani menetapkan kenaikan target pendapatan PBB-P2 paling signifikan. Kelima daerah tersebut adalah:
No. | Kab/Kota | 2024 M | 2025 M | Pertumbuhan Rata-rata | Pertumbuhan 2024 ke 2025 | Selisih |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | Kab. Tulungagung | 37,50 M | 45,50 M | 5,7% | 21,3% | 15,6% |
2 | Kab. Lamongan | 48,00 M | 58,00 M | 7,4% | 20,8% | 13,5% |
3 | Kab. Jombang | 46,00 M | 55,00 M | 10,4% | 19,6% | 9,1% |
4 | Kota Pasuruan | 7,50 M | 10,00 M | 25,7% | 33,3% | 7,6% |
5 | Kab. Magetan | 25,00 M | 27,40 M | 3,6% | 9,6% | 6,0% |
Sumber: Kementerian Keuangan RI — Postur APBD Murni 2024 dan 2025
- Kabupaten Tulungagung, dengan lonjakan dari Rp37,5 miliar (2024) menjadi Rp45,5 miliar (2025), tumbuh 21,3%—selisih 15,6% poin dari rata-rata pertumbuhan tahun sebelumnya.
- Kabupaten Lamongan, dari Rp48 miliar menjadi Rp58 miliar (naik 20,8%), dengan selisih 13,5% poin dari pertumbuhan tahun sebelumnya.
- Kabupaten Jombang, mencatat pertumbuhan 19,6% dengan basis rata-rata tahun sebelumnya 10,4% dan selisihnya adalah 9,1% poin.
- Kota Pasuruan, mencatat lonjakan selisihnya lebih kecil yaitu sebesar 7,6%. pada tahun 2025 tumbuh sebesar 33,3%, sedngkan rata-rata pertumbuhan tahun sebelumnya 25%. secara nominal Rp7,5 miliar pada tahun 2024 menjadi Rp10 miliar 2025.
- Kabupaten Magetan, paling konservatif di antara beberapa daerah di atas, tumbuh 9,6% dengan selisih 6%.
Setidaknya, dari lima daerah di atas, tiga daerah Lamongan, Tulungagung, dan Jombang telah saya pelajari perdanya terkait pajak daerah. Misalnya, Lamongan menetapkan tarif PBB-P2 hingga 0,2% untuk NJOP di atas Rp1 miliar. Tulungagung menetapkan tarif 0,1% untuk NJOP di bawah Rp1 miliar dan 0,2% untuk harga di atasnya, sementara lahan pangan mendapat perlakuan khusus sebesar 0,08%. Jombang bahkan membuat skema berlapis mulai dari 0,02% untuk NJOP di bawah Rp250 juta hingga 0,2% untuk di atas Rp2,5 miliar.
Gambaran ini menunjukkan, bahwa beberapa daerah kabupaten dan kota di Jawa Timur tengah memasuki fase di mana pengefektifan peraturan daerah tentang pajak dan retribusi menjadi kunci pendapatan asli daerah.